4/25/2010
Ever dream this man?
LONDON - Sebuah situs yang beralamat di http://www.thisman.org/ telah membuat banyak orang penasaran. Situs yang memajang sketsa wajah pria misterius ini meminta setiap pengaksesnya memberikan informasi seandainya mereka pernah memimpikan wajah tersebut.
Konon, wajah pria dalam sketsa tersebut sudah hadir dalam mimpi ribuan orang di seluruh dunia. Mungkin oleh karena itulah banyak orang yang ingin tahu dan mencoba mengaksesnya. Situs ini kemudian langsung menjadi hit dengan trafik akses yang padat.
Dalam situs itu disebutkan, sketsa wajah pria misterius itu pertama kali digambar oleh seorang wanita yang tengah menjalani sesi terapi dengan psikiater pribadinya tiga tahun lalu. Wanita itu menyebutkan, wajah pria tersebut hadir berulang kali di mimpinya. Demikian keterangan yang dikutip dari Big News Networks, Rabu (28/10/2009).
Berdasarkan keterangan dalam situs itu pula, si wanita tersebut mengaku tidak pernah melihat atau bertemu dengan pria itu sebelumnya. Anehnya, pasien lain yang melihat sketsa wajah si pria misterius juga mengaku pernah bermimpi tentang pria itu.
Kemudian, saat si psikiater mengirimkan gambar tersebut pada rekannya, beberapa pasien rekannya juga mengenali wajah itu.
Kini, gambar tersebut diposting di internet. Hanya dalam waktu dua pekan sejak diposting, situs yang memajang sketsa wajah pria itu langsung menjadi sebuah fenomena. Bahkan beberapa pengakses mengaku sulit mengaksesnya. Di duga, hal ini disebabkan begitu banyak orang yang ingin mengetahuinya sehingga membuat trafik aksesnya padat.
Namun begitu, banyak pula yang mengkritik kehadiran situs ini dan menyebutkan bahwa sketsa wajah pria tersebut hanya kabar bohong yang sengaja dibuat untuk menimbulkan sensasi.
Sumber: okezone.com
Thickest book with 5000 pages
Biasanya kita malas membaca buku yang tebalnya lebih dari 100 halaman, apalagi tidak ada gambarnya. Bagaimana dengan buku wikipedia ini yang diklaim sebagai buku tertebal di dunia dan tebalnya mencapai 5000 halaman ini?
Siapakah pembuat buku tertebal ini? Namanya Rob Mathew. Ia membuat ringkasan artikel wikipedia dan kemudian mencetaknya dan menjilidnya menjadi sebuah buku, dan jadilah buku tertebal ini, tebalnya 5000 halaman, dan kalau diletakkan tingginya bisa mencapai 47.5 centimeter, padahal ia hanya menulis isi dari wikipedia 0,01% dari seluruh isi artikel wikipedia. Bisa dibayangkan bagaimana tebalnya jika ia mencantumkan semua artikel wikipedia.
Sumber: kaskus.us
Siapakah pembuat buku tertebal ini? Namanya Rob Mathew. Ia membuat ringkasan artikel wikipedia dan kemudian mencetaknya dan menjilidnya menjadi sebuah buku, dan jadilah buku tertebal ini, tebalnya 5000 halaman, dan kalau diletakkan tingginya bisa mencapai 47.5 centimeter, padahal ia hanya menulis isi dari wikipedia 0,01% dari seluruh isi artikel wikipedia. Bisa dibayangkan bagaimana tebalnya jika ia mencantumkan semua artikel wikipedia.
Sumber: kaskus.us
English is a difficult language...for some!
Story from the Japanese Embassy in US!!!
Sumber: kaskus.us
Sumber: kaskus.us
4/15/2010
Do you know girl?
Ada masa-masa tertentu dalam hidup saya ketika saya iri kepada perempuan-perempuan cantik*. Bukan dalam arti ‘iri’ di mana saya lantas hendak mencakar-cakar wajah mereka, tetapi rasa ‘iri’ yang berharap.
Ya, saya juga ingin bisa secantik mereka. Semasa SMU dan tahun-tahun pertama di bangku kuliah, saya memang mengalami masalah kepercayaan diri yang cukup akut–jika dan hanya jika, berhubungan dengan penampilan.
Saya termasuk siswi yang aktif di organisasi dan punya banyak teman. Sehari-hari, sepertinya saya ceria-ceria saja dengan segudang kegiatan. Namun, yang tidak diketahui kawan-kawan saya (dan tak pernah saya ceritakan kepada siapa-siapa) adalah: dengan berat badan yang melebihi angka ideal jarum timbangan, wajah berminyak yang jerawatan, serta rambut yang lurus masai, saya sama sekali merasa tidak menarik, apalagi cantik.
Hal ini terus-terang, membuat saya merasa depresi.
Kebanyakan kawan-kawan saya di SMU adalah perempuan-perempuan cantik. Bahkan mereka yang dianggap jajaran ‘paling cantik’ dalam satu angkatan. Berada di lingkaran yang sama dengan mereka, seringkali membuat saya tidak percaya diri.
Bisa sangat menyebalkan (dan menyedihkan) terkadang, jika kami berjalan-jalan ke suatu tempat dan bertemu dengan sekumpulan cowok-cowok yang kemudian sibuk menanyakan nomor telepon kawan-kawan saya, tetapi tidak menanyakan nomor telepon saya.
Parahnya lagi, teman-teman perempuan saya yang cantik-cantik ini baik. Tidak culas dan sering mendelik-delik mengerikan seperti yang sering terlihat dalam sinetron-sinetron.
Kami pergi ke salon bersama (meski kami potong rambut di salon yang sama, saya selalu merasa si tukang potong rambut telah berkonspirasi untuk memberikan saya potongan rambut paling aneh), berbelanja bersama, nongkrong bersama, mencurahkan isi hati…
Seandainya mereka jahat, mungkin saya bisa membenci mereka. Tetapi tidak. Mereka baik. Lucu. Menyenangkan. Dan cantik. Dan saya jadi merasa lebih iri lagi. Saya tidak bisa membenci mereka, sekaligus juga merasa sulit untuk menyukai mereka sepenuhnya. Kekaguman saya bercampur dengan kesadaran bahwa saya tidak akan pernah bisa menjadi secantik mereka.
Pada masa-masa inilah saya biasanya kesal mendengarkan jawaban para Putri Indonesia ketika mendapat pertanyaan klise: Ingin menjadi cantik tetapi bodoh, atau jelek tetapi pintar?
Rata-rata menjawab jelek tetapi pintar dengan tameng standar semacam inner beauty dan lain sebagainya. Saya pikir, jika saya yang mendapatkan pertanyaan itu, saya akan menjawab: cantik tetapi bodoh.
Mengapa?
Karena orang bodoh masih bisa belajar supaya menjadi pintar. Tetapi orang jelek susah menjadi cantik, kecuali jika melalui operasi plastik (ya, pada masa itu saya masih sangat sinis, sehingga harap jawaban tersebut dimaklumi). Kecantikan itu given. Diberikan. Bukan achieved atau dicapai.
Saya seringkali berpikir, alangkah menyenangkannya menjadi cantik seperti mereka. Cowok-cowok mengantri mengajak mereka kencan. Bunga-bunga yang dikirimkan pada saat Valentine. Kemudahan mencari uang saku dengan menjadi SPG, model iklan, pemain sinetron, atau model rambut.
Namun, menjelang berakhirnya masa-masa kuliah, ada banyak hal yang saya ketahui mengenai perempuan-perempuan cantik ini, yang dulu tidak saya ketahui sama sekali.
Salah seorang kawan saya yang cantik itu dan sudah berpacaran dengan seorang lelaki selama bertahun-tahun, ternyata sering menyayat dirinya sendiri dengan silet. Katanya ia merasa tak dicintai oleh kekasihnya itu, dan menyayat diri seringkali berhasil membuat kekasihnya merasa bersalah, sehingga lelaki itu kemudian memberikan perhatian lebih kepadanya.
Seorang kawan saya yang lain lagi, yang sering menjadi model di sana-sini, menjadi istri simpanan seorang lelaki yang sudah berusia hampir 50 tahun. Sang lelaki sudah memiliki anak yang usianya lebih tua dari kawan saya itu. Hanya beberapa lama setelah mereka menikah dan dikaruniai seorang anak, sang lelaki menceraikan kawan saya. Menghancurkan hidupnya dan membuatnya depresi.
Kawan cantik saya lainnya lagi ternyata mengidap penyakit serius. Pantas saja ia begitu langsing. Selama ini, ternyata ia menyembunyikan kenyataan bahwa ia sakit parah. Perempuan cantik lainnya mengetahui bahwa kekasihnya berselingkuh dengan perempuan lain (yang menurutnya, tidaklah lebih cantik dari dirinya). Yang lainnya lagi masih terus menjalin hubungan selama bertahun-tahun lamanya dengan lelaki yang sering memukulinya hingga biru lebam, karena menurutnya, ia sangat mencintai lelaki itu.
Mendengarkan kisah-kisah ini membuat saya berpikir, bahwa ternyata menjadi cantik tidak membuat kita kebal dari rasa sedih. Rasa sakit. Terluka. Dikhianati. Hanya saja rasa itu termanifestasi dalam bentuk yang berbeda. Tetapi ternyata semua orang masih saja tersakiti dalam caranya sendiri-sendiri, tak peduli apakah mereka cantik atau biasa-biasa saja.
Lantas saya teringat percakapan saya dengan seorang kawan beberapa waktu lalu:
Me: Why would you want to be beautiful?
M: Because I want to be loved.
Me: Why would you want to be loved?
M: Because… I want to be happy.
Me: Meaning, you don’t want to be beautiful, actually. Am I right? You just want to be loved, and be happy. What if you’re beautiful, but unhappy? I knew lots of beautiful women who are unhappy. Trust me.
Menjelang tahun-tahun terakhir kuliah hingga kini, saya tak lagi risau perihal menjadi cantik.
Saya tahu, ada begitu banyak hari dalam masa remaja saya dahulu, di mana saya membuangnya begitu saja dengan meratapi diri di depan cermin dan mencoba membandingkan apa yang saya lihat di sana dengan kawan-kawan saya, atau model-model di majalah (jauh banget hehehe). Saya tak menyalahkan siapa-siapa, saya hanya berpikir saat itu saya masih berada dalam masa jahiliyah Masa-masa itu adalah proses, yang mungkin memang harus saya lewati untuk bisa berada dalam jalan pemikiran dan sikap yang saya ambil saat ini.
Kini, saya masih mengagumi perempuan-perempuan cantik, namun tidak pernah lagi merasa iri. Juga tak lagi risau mengenai menjadi cantik. Karena saya tahu bahwa yang paling penting bukanlah menjadi cantik, tetapi menjadi bahagia.
Dan untungnya, untuk berbahagia, Anda tidak perlu menjadi cantik..
do you know girl? intruthfully boy is same with girl, when we love you we love you coz "you it's you" we not love your body or your face..
so please be yourself girl..
Sumber: kaskus.us
Ya, saya juga ingin bisa secantik mereka. Semasa SMU dan tahun-tahun pertama di bangku kuliah, saya memang mengalami masalah kepercayaan diri yang cukup akut–jika dan hanya jika, berhubungan dengan penampilan.
Saya termasuk siswi yang aktif di organisasi dan punya banyak teman. Sehari-hari, sepertinya saya ceria-ceria saja dengan segudang kegiatan. Namun, yang tidak diketahui kawan-kawan saya (dan tak pernah saya ceritakan kepada siapa-siapa) adalah: dengan berat badan yang melebihi angka ideal jarum timbangan, wajah berminyak yang jerawatan, serta rambut yang lurus masai, saya sama sekali merasa tidak menarik, apalagi cantik.
Hal ini terus-terang, membuat saya merasa depresi.
Kebanyakan kawan-kawan saya di SMU adalah perempuan-perempuan cantik. Bahkan mereka yang dianggap jajaran ‘paling cantik’ dalam satu angkatan. Berada di lingkaran yang sama dengan mereka, seringkali membuat saya tidak percaya diri.
Bisa sangat menyebalkan (dan menyedihkan) terkadang, jika kami berjalan-jalan ke suatu tempat dan bertemu dengan sekumpulan cowok-cowok yang kemudian sibuk menanyakan nomor telepon kawan-kawan saya, tetapi tidak menanyakan nomor telepon saya.
Parahnya lagi, teman-teman perempuan saya yang cantik-cantik ini baik. Tidak culas dan sering mendelik-delik mengerikan seperti yang sering terlihat dalam sinetron-sinetron.
Kami pergi ke salon bersama (meski kami potong rambut di salon yang sama, saya selalu merasa si tukang potong rambut telah berkonspirasi untuk memberikan saya potongan rambut paling aneh), berbelanja bersama, nongkrong bersama, mencurahkan isi hati…
Seandainya mereka jahat, mungkin saya bisa membenci mereka. Tetapi tidak. Mereka baik. Lucu. Menyenangkan. Dan cantik. Dan saya jadi merasa lebih iri lagi. Saya tidak bisa membenci mereka, sekaligus juga merasa sulit untuk menyukai mereka sepenuhnya. Kekaguman saya bercampur dengan kesadaran bahwa saya tidak akan pernah bisa menjadi secantik mereka.
Pada masa-masa inilah saya biasanya kesal mendengarkan jawaban para Putri Indonesia ketika mendapat pertanyaan klise: Ingin menjadi cantik tetapi bodoh, atau jelek tetapi pintar?
Rata-rata menjawab jelek tetapi pintar dengan tameng standar semacam inner beauty dan lain sebagainya. Saya pikir, jika saya yang mendapatkan pertanyaan itu, saya akan menjawab: cantik tetapi bodoh.
Mengapa?
Karena orang bodoh masih bisa belajar supaya menjadi pintar. Tetapi orang jelek susah menjadi cantik, kecuali jika melalui operasi plastik (ya, pada masa itu saya masih sangat sinis, sehingga harap jawaban tersebut dimaklumi). Kecantikan itu given. Diberikan. Bukan achieved atau dicapai.
Saya seringkali berpikir, alangkah menyenangkannya menjadi cantik seperti mereka. Cowok-cowok mengantri mengajak mereka kencan. Bunga-bunga yang dikirimkan pada saat Valentine. Kemudahan mencari uang saku dengan menjadi SPG, model iklan, pemain sinetron, atau model rambut.
Namun, menjelang berakhirnya masa-masa kuliah, ada banyak hal yang saya ketahui mengenai perempuan-perempuan cantik ini, yang dulu tidak saya ketahui sama sekali.
Salah seorang kawan saya yang cantik itu dan sudah berpacaran dengan seorang lelaki selama bertahun-tahun, ternyata sering menyayat dirinya sendiri dengan silet. Katanya ia merasa tak dicintai oleh kekasihnya itu, dan menyayat diri seringkali berhasil membuat kekasihnya merasa bersalah, sehingga lelaki itu kemudian memberikan perhatian lebih kepadanya.
Seorang kawan saya yang lain lagi, yang sering menjadi model di sana-sini, menjadi istri simpanan seorang lelaki yang sudah berusia hampir 50 tahun. Sang lelaki sudah memiliki anak yang usianya lebih tua dari kawan saya itu. Hanya beberapa lama setelah mereka menikah dan dikaruniai seorang anak, sang lelaki menceraikan kawan saya. Menghancurkan hidupnya dan membuatnya depresi.
Kawan cantik saya lainnya lagi ternyata mengidap penyakit serius. Pantas saja ia begitu langsing. Selama ini, ternyata ia menyembunyikan kenyataan bahwa ia sakit parah. Perempuan cantik lainnya mengetahui bahwa kekasihnya berselingkuh dengan perempuan lain (yang menurutnya, tidaklah lebih cantik dari dirinya). Yang lainnya lagi masih terus menjalin hubungan selama bertahun-tahun lamanya dengan lelaki yang sering memukulinya hingga biru lebam, karena menurutnya, ia sangat mencintai lelaki itu.
Mendengarkan kisah-kisah ini membuat saya berpikir, bahwa ternyata menjadi cantik tidak membuat kita kebal dari rasa sedih. Rasa sakit. Terluka. Dikhianati. Hanya saja rasa itu termanifestasi dalam bentuk yang berbeda. Tetapi ternyata semua orang masih saja tersakiti dalam caranya sendiri-sendiri, tak peduli apakah mereka cantik atau biasa-biasa saja.
Lantas saya teringat percakapan saya dengan seorang kawan beberapa waktu lalu:
Me: Why would you want to be beautiful?
M: Because I want to be loved.
Me: Why would you want to be loved?
M: Because… I want to be happy.
Me: Meaning, you don’t want to be beautiful, actually. Am I right? You just want to be loved, and be happy. What if you’re beautiful, but unhappy? I knew lots of beautiful women who are unhappy. Trust me.
Menjelang tahun-tahun terakhir kuliah hingga kini, saya tak lagi risau perihal menjadi cantik.
Saya tahu, ada begitu banyak hari dalam masa remaja saya dahulu, di mana saya membuangnya begitu saja dengan meratapi diri di depan cermin dan mencoba membandingkan apa yang saya lihat di sana dengan kawan-kawan saya, atau model-model di majalah (jauh banget hehehe). Saya tak menyalahkan siapa-siapa, saya hanya berpikir saat itu saya masih berada dalam masa jahiliyah Masa-masa itu adalah proses, yang mungkin memang harus saya lewati untuk bisa berada dalam jalan pemikiran dan sikap yang saya ambil saat ini.
Kini, saya masih mengagumi perempuan-perempuan cantik, namun tidak pernah lagi merasa iri. Juga tak lagi risau mengenai menjadi cantik. Karena saya tahu bahwa yang paling penting bukanlah menjadi cantik, tetapi menjadi bahagia.
Dan untungnya, untuk berbahagia, Anda tidak perlu menjadi cantik..
do you know girl? intruthfully boy is same with girl, when we love you we love you coz "you it's you" we not love your body or your face..
so please be yourself girl..
Sumber: kaskus.us
Langganan:
Postingan (Atom)